Skip to main content

Posts

Showing posts from 2015

Mari bermimpi (lagi)

Mengejar mimpi adalah hal yang sangat menyenangkan. kita berusaha sekuat tenaga, optimis, dan berani mengambil resiko untuk mencapai mimpi kita. akan tetapi ada hal yang kadang terlupa oleh kita para pemimpi, bahwa dalam fase  mengejar mimpi akan ada saat saat membosankan dan menjengkelkan. Membosankan saat kita tak tahu harus bagaimana lagi melangah, dan menjengkelkan adalah saat kita sudah tau apa yang ahrus kita lakukan, akan tetapi kita tidak dapat melakukannya karena beberapa alasan. Pada saat seperti itu, coba mulailah untuk menenangkan diri dan berfikir lebih jernih tentang hidupmu, tentang bagaimana kau akan menghadapinya esok hari. Tenggelamkan dirimu pada alam fikirmu, biarkan ia menuntunmu pada kedamaian berfikir yang selama ini mungkin kau idam-idamkan. Dalam gemerlap dunia yang udah mulai mencari mencari mangsa orang-orang yang tak bertanggung jawabb akan mimpinya ini, kita memang harus mulai menyingsingkan baju dan mengencangkan ikat pinggang untuk terus menatap apa y

Gemintang Assyura.

Aku merasa melihat gemintang turun di assyura', Mengapit bulan yang hanya setengah Mereka turun mewarnai kesyahduan cakap Antara ilalang dan angin yang saling mengisi satu sama lain Walau kadang terkikis karena bergesekan. Rindu yang meliputi pada sabit sampai purnama Tak pernah terbayar oleh perut bedug Yang selalu lapar Oleh syahwat keduniawian. Aku kadang merasa rerumputan mengingatkanku Tapi aku berusaha melemahkannya. Karena yang aku tahu Dahaga ini nyata Dunia tak terlihat fana Seperti yang terkata dalam kalam kalam pemuas dahaga. Ah, mungkin aku saja yang sedang lupa Berada pada galian lubang kubur sendiri Tanpa sadar. Atau mungkin dengan sangat sadar Hingga menjadi kebiasaan. Batinku. Berdoa Bersama gemintang dimalam assyura. Depok, Muharam 1347 H

Sedang Lupa

Tuhan, Mungkin aku sedang lupa cara berdoa, Sampai sampai apa yang aku mau Penuh sesak di dalam dada Memaksa suara rintihan ini keluar Menahan sakitnya Tuhan, Mungkin aku sedang lupa cara bersujud, Sampai sampai apa yang aku fikirkan Menumpuk di kepala Sampai memaksa air mata keluar Menahan peningnya Tuhan, Mungkin aku lupa cara bersyukur, Sampai sampai apa yang akan aku jalani Jadi memberatkan lutut kaki Sampai gemetar hebat Dan mulut tak berhenti ikut gemetar Menahan jeritan yang ingin keluar darinya Tuhan, Mungkin aku lupa cara meyembah, Sampai sampai aku lelah menuhankan diriku sendiri Semua kalimat membanggakan itu Begitu mudah keluar dari alam bawah sadarku Tuhan, Aku sedang lupa, Maafkan aku, Dan ingatkan aku, Sebelum subuh datang menyingsing. Depok, 10-9-2015

Resah

ada sedikit resah, yang menggelayut pada seribu bayang, yang tetap keluar walau tak remang, bayang yang tak butuh cahaya dan kegelapan untuk muncul lalu, aroma kopi, mengirimkan ketenangan untuk melawan sedikit resah yang tertinggal oleh bayang, tapi, sepertinya tak cukup. ada sedikit resah yang lain, pada coretan-coretan tinta yang mewarnai kertas polos itu yang saat terus dipandangi mmbentuk ambstrak yang sempurna lalu, sederet karya mozart mengirimkan bala bantuan ketenangan untuk melawan edikit resah yang lain itu, dan berhasil akhirnya tertidur. jakarta, 9-9-2015

Hati Termenung dan Pematang Sawah

pada setiap hati yang merenung, tersampaikan sebilah rasa yang tiba-tiba menyayat seperti angin, yang mengiris kelembutan daun pisang. aku berdiri di tengah pematang sawah yang sedari lama aku tinggalkan, aku melihat canda dan tawa yang mengaum dari sapi sapi pembajak sawah aku mendengar bisik bisik rerumputan yang mencari senja serta aku mendengar erangan ranting-ranting pohon yang mulai mengering. aku berdiri, seperti saat aku menjaga air ditemani temaram bersama ayah yang mengajariku bersabar dan cerita api terbang yang melegenda kau tahu yang aku dapat, wahai hati yang sedang merenung? kau adalah sepi yang tersenyum, kau adalah ramai yang menangis kau adalah lalu lalang yang bingung, kau adalah hiruk pikuk yang terpingkal pingkal wahai hati yang termenung, coba lepaskan sedikit belenggu egomu, longgarkan ikat pinggang banggamu lalu buka penutup telinga yang dari ngujub itu, serta tak lupa basuh mukamu dengan air tawadlu di sebelah pematang itu dengarkan

Ada Rasa

Aku kembali pada rindu yang mengutukku, Pada rasa yang selama ini menghantui setiap kedip mataku membuatku terus menimang gamang apakah benar yang sedang ku rasakan daun tetap setia menemani angin menari tak peduli nanti hujan atau tetap terik seperti siang siang sebelumnya toh, yang ia sadar ia tak akan lelah menari sampai menguning dan mati. sama seperti daun yang menari, ada rasa, yang sepintas seperti bara yang sepintas kemudain seperti bongkahan es atau kadang seperti gabus rasa yang selalu ada tak peduli seperi apa bentuk akhirnya ia hanya dibiarkan saja berganti ganti sampai menetap pada satu aliran nadi. Depok, 28 Juni 2015

Waktu lagi

Berapa kali harus ku utarakan lagi, aku tahu telinga sahabat sahabatku juga sudah bosan mendengarkan ceritanya, tapi yang aku merasa aneh adalah, kenapa aku tak pernah bosan mengingatnya atau menceritakannya? Kadang aku bingung, sebegitu dalamkah, sehingga untuk keluar dan meninggalkannya pun susah. Seperti hari yang kulalui dulu, semua masih sama, hanya waktu saja yang terus berjalan dan tak mau sama. Bukankah aku pemegang prinsip "waktu selalu bijaksana"? tapi kenapa sekaranga aku malah seperti ingin mengutuk waktu? Maafkan aku waktu, jika aku membuatmu sedikit terganggu dari pengagummu ini. Waktu, kau selalu mengajariku cara berjalan yang sama, dari zaman aku mengetahuimu, mengenalmu, membencimu, mengagumimu, kau tetap bertahan dan berjalan tanpa menambah kecepatan atau mengurangi kecepatan.

Selamat Ulang Tahun

 sumber gambar : https://scout1986.files.wordpress.com/2010/01/jasmine480.jpg?w=480 Untuk kesekian kalinya. kau berulang tahun, untuk kesekian kalinya juga aku tak melihat wajahmu saat mengucapkannya. Dari saat kau berumur 16 tahun dulu sampai sekarang usiamu yang ke-23 aku hanya bisa mengucapkan dalam pesan singkat dan doa yang singkat pula. Mungkin bagimu, ulang tahun bukan hal spesial, seperti saat ini, kau tak pernah menunggu ucapan dari siapapun atau kejutan dari siapapun, aku tahu itu. Yang ku tahu, kau tak begitu menikmati momen-momen seremonial seperti ini. Kau lebih suka menikmati doa-doa yang terpanjat untukmu di momen-momen ini, tapi tetap dengan tidak berharap lebih. Selamat Ulang Tahun, sekali lagi tak akan ada kado seperti sebuah kado yang dulu telat aku berikan saat akhirnya aku memilih untuk jauh. Waktu itu, 5 tahun yang lalu, aku sedang dalam pengharapan yang lebih untuk menunggumu. Kini, tulisan seperti inilah yang hanya bisa ku berikan untuk tetap mengenang

Pulang

langkah setiap jengkal, ditapak dengan penuh harap pada nadi yang katanya kebebasan tanpa melihat apapun di depan Setiap pulang selalu ada ekspektasi tanpa kendali, Cuma bisa senyum dan ketakutan yang bercampur. Hanya di sini, Aku merasa bisa tersenyum bangga dan tiba tiba berfikir keras karena cemas, Hanya dirumah ini, Kehangatan manja dan tanggung jawab tak pernah ada satir yang menghalanginya. Hanya di sini, Saat pulang ada kelegaan dan harapan. Di sini, aku bisa menangis saat menang, dan tersenyum saat kalah. Pulang. Wonosobo, 14 juni 2015

Masih Senja Jakarta

Masih senja jakarta, Yang jingganya terpantul kemana mana, Seperti seribu mata dewa yang menempel di kaca gedung gedung perkasa Masih senja jakarta, Dimana para pekerja pulang ke peraduannya Membawa keringat dan lelahnya Mungkin ada sedikit cerita Yang kalau anak muda Pasti habis di coffe shop atau tempat makan cepat saji Masih senja jakarta, Saat angkutan umum penuh sesak dengan dera dera lelah Muka muka kuyu dan rindu sepertinya. Yang berbeda disetiap tanggalnya. Masih senja jakarta Lampu lampu kendaraan mulai membentuk warna merah putih Berderet deret, Dengan sedikit hiasan suara suara klakson ketidaksabaran. Masih senja jakarta, Pedagang pedagang kaki lima berjejer dipinggir jalan Bersanding dengan kaum peminta minta Yang kadang membuat anaknya yang tak tau apa apa sebagai pengiba. Masih senja jakarta, Saat rumah rumah Tuhan yang megah Mulai melantunkan ayat ayat merdu dari kaset, Dan menunggu jamaah, Yang sebenarnya selalu sama, Kakek kakek sekitar, imam,

Hati Sebiji Kopi

sesempurna kopi yang diseduh dengan air mendidih halus, tak meninggalkan bekas ampas putih diatasnya hati ini, ya, hati ini dalam keseimbangan yang tak pernah tergoyahkan usia kopi yang dipetik dari tangkainya telah melewati masa dimana mereka dibiarkan diteriknya matahari, lalu di giling begitu saja dan diseduh dengan air mendidih dipaksa bercampur dengan gula bagaimana tak sempurna ke seimbangannya? hati ini seperti sebiji kopi dia juga di bakar teriknya amarah dan digiling oleh kejamnya lawwamah, lalu dipaksa bercampur oleh sulfiah. tapi belum sampai ia mencapai keseimbangan mutmainah. tunggu saja, sampai aromanya merasuk pada setiap selah hidung dan menenangkan setiap saraf otak yang dilaluinya, Jakarta, 5 Juni 2015

Menyesal

Masih ada cinta yang begitu dalam, hingga yang bisa diungkapkan hanya diam. masih ada jentik rindu yang tak bernah terbang menjadi nyamuk. karena terlalu lama air terkuras dari kehidupannya. lalu pada siapa sang awan mengirimkan hujan, jika bumi tak mau lagi menerima dan meresapkannya apakah banjir akan melanda seluruh bumi? seperti yang disampaikan kitab suci pada zaman nabi Nuh? begitu menggetar saat kau hanya melayang, goncangan dari getaran yang tak pernah bisa dirasakan bagaimana kau merasa? sedang kau terbang bersama angin dan getaran itu bercengkrama dengan bumi? sekarang kau berdiri dipadang luas, berharap tersambar petir yang datang di siang yang panas. ha, rumput sampai sampai kering karena terlalu banyak tertawa. melihat tingkahmu itu. "lalu aku harus bagaimana?" tanyamu jangan pernah bertanya setelah semua terjadi redakan saja banjirnya, bawa airnya ke laut siapa tahu lautnya masih bermurah hati. Depok, 3 Juni 2015

Kau yang Tahu

saat aku tak bisa mencintaimu dari setiap kata yang terucap pada setiap untaian rindu yang jua tak tersampaikan aku  hanya bisa mengingatmu, pada desir angin yang menerbangkan phoenix dan bilangan euler di pinggir danau. saat aku tak bisa mencintaimu dari setiap gerak yang terangkai pada setiap lambaian tangan atau jabat tangan yang kau berikan atau aku minta di hampir tengah malam di gerbong kereta saat kita akan berpisah saat ku tak bisa mencintaimu dari setiap pandang yang bertatap dibawah ribuan bintang yang menangis kesakitan atas semua pijakan yang berdampingan di sela gemuruhnya panggung yang memberi isyarat saat aku makan dengan lahap. saat aku benar benar tak bisa mencintaimu seperti manusia pada umumnya aku tak pernah takut kehilanganmu karena aku bisa mencintaimu dari bilik hati yang hanya diketahui hatimu Jakarta, 27 mei 2015

Tiba-Tiba

Masihku termenung, untuk mengingat saat tiba tiba datang membawa secangkir kopi, yang aku minum, nikmati, berteman senja, saat aku akhirnya menghabiskan kopinya dan setelah habis, aku masih menikmatinya walau tiba-tiba rasa kantuk datang bukan saat malam atau lelah yang datang tapi sesaat setelah kopi habis aku masih termenung, tidak mau tidur, saat kau tiba-tiba pergi. aku beranjak lagi, tapi seperti malas menikmati kopi Jakarta, 18 Mei 2015

Bertanya

Saat daun jatuh terhembus angin, Kemanakah cinta? Saat air mengalir ke muara, kemanakah rindu? Saat iringan awan mengantarkan hujan menemui tanah, Kemanakah kasih? Saat rembulan mengantarkan malam, Kemanakah sayang? Saat aku mengungkapkan dalam gerak, Kemanakah rasa? Depok, 9 Mei 2015

Menemani Jejak

teriring lembut ilalang yang saling berpegangan menangah angin yang menggoyangkannya ia tak mengeluh malah ikut menari sesuai irama yang dilantunkan angin jejak demi jejak aku langkahkan menginjak mereka bukan maksud menindas tapi memang harus menginjaknya ada langkah yang mengiring disamping walau aku sendiri tak tahu ia nyata atau tidak aku tak berani menolehkan mukaku bukan tidak berani, tapi belum berani sepertinya dan saat segenggam tangan menggenggam tanganku aku masih merasa pada sisi yang sama begitu hangat seperti yang ku bayangkan dan aku masih belum berani menengokkan mukaku entah karena auranya yang kuat atau karena aku yang belum siap Depok, 6 Mei 2015

Berlayar

Sedikit kilauan bening air laut tertempa matahari menemaniku dalam pelayaran yang sudah hampir 1/4 abad tak berhenti, jangankan untuk berhenti menetap, untuk sekedar berlabuh dan membuang sauh, saja aku tidak mampu. kadang aku berfikir bagaimana rasanya berlabuh dan menikmati daratan yang selalu ku dambakan. Mungkin aku bissa tersenyum mesra dengan melihat tanah yang subur itu. selama ini, semua daratan yang ku lihat dari kejauhan seperti hanya sekedar daratan biasa tak berkarakter kuat. Hanya sekedar daratan biasa yang kadang hewan pun tak tertarik untuk melihatnya, Angin laut yang asin masih mengalir deras dalam membumbui keringat yang keluar karena terik matahari. aku masih tetap duduk disekoci dengan tangan melingkar menopang dua kaki. pikiran dan khayalan masih menari nari mencari ruang untuk singgah dan menetap disudut sudut otak yang sebenarnya masih kosong. Kalau dunia ini begitu luas, bagaimana dengan ilmu pengetahuan yang mendasari semuanya? apakah tidak lebih luas dari lau

Masih Rindu

Aku terhenyak pada rindu yang ku tahu aku menginginkannya. aku tidak mencoba untuk melawannya, aku hanya bisa berbenah untuk mancari tanpa aku harus berpindah dari hati ke hati. cinta menerima rindu pada setiap waktu yang ia sempatkan. seperti saat aku mencintai kesendirian. rindu padanya selalu datang dan punya ruang lalu, aku hanya bisa mengikutinya ke lorong yang tak pernah berujung mencoba menebak hal apa yang akan terjadi atau sebenarnya hanya sekedar mencari tempat duduk untuk menikmati? ah entahlah kenikmatan rindu kadang terasa sangat menyentuh hingga tak tahu apakah itu nikmat atau membuat sekarat. lalu berhenti. Depok, 27 April 2015

SAHABAT ADALAH ALASAN

Sahabat bagi sebagian orang adalah harta karun paling berharga dan bagi sebagian orang adalah hal mustahil yang pernah ada. Hanya sebuah kepercayaan yang membawa kita kepada persahabatan. Karena tanpa rasa percaya bahwa sahabat itu ada, kita tak pernah bisa mengejarnya. Sahabat bagiku bukan hanya tentang harta karun, sahabat, bagiku juga bukan hanya sekedar impian. Sahabat adalah alasan. Alasan untuk bercerita, alasan untuk menulis, alasan untuk bernyanyi, alasan untuk travelling, alasan untuk tertawa, alasan untuk menangis, alasan untuk berbagi, alasan untuk menjadi hebat, alasan untuk bermimpi, alasan untuk berani, alasan untuk mengambil keputusan, alasan untuk hidup, alasan untuk bertahan, dan alasan untuk melakukan semua hal. Saat aku sudah tak bisa percaya pada siapapun, maka sahabat adalah orang yang benar benar bisa diandalkan untuk berbagi segala keluh kesah dan rahasia, karena hanya kepada mereka kadang sampai tak perlu cerita, mereka sudah tahu apa yng harus mereka lakuk

Pada

Pada kesetian kau akan bersandar? coba bertanya dulu pada pengkhianatan kenapa kau menjauh? aku tak mengerti apa yang aku anggap hebat, aku hanya memenuhi apa yang aku mau. aku mencari rindu dari siapapun yang aku temui ada? tidak, karena mereka semua fana sulfiah, lawwamah, amarah, mutma'innah. mereka adalah rindu dimana? di hati yang lapang tak terbatas waktu. aku rindu, pada karib aku ingin pergi dengan semua kesalahanku.

Wangi Mimpi

saat ku lihat lagi kau dalam mimpi, kau tetap wangi melati yang sama, tak pernah layu, atau terganti dengan bau hingar bingar ibukota saat aku menemukanmu ditepain gunung saat aku coba membawamu di teras pesantren saat aku mengajakmu untuk menikmati matahari pagi saat aku diajakmu menikmati bintang dan bulan dimalam hari, saat itu adalah saat aku sedih, bahwa esok aku hanya bisa mengenangnya bait-bait 'imriti yang terlafalkan disetiap malam senin dan rabu, mengantarkanku mendengarkan suaramu yang bersungguh sungguh seperti selalu memberi pupuk pada benih rasa dalam hati kurasan kurasan fatkhl qarib al mujib atau yang sering disebut kyai kita dengan taqrib sarah tengah seperti membawaku untuk merenung dalam deru suara mantap Pak kyai. lalu, sepiring nasi diam diam dimalam hari atau makan bersama diruang makan ndalem derai tawa, senyum manis, dan diam redup selalu terpatri dlaam alam bawah sadar yang tak terjangkau. akankah kita berada pada dampar yang sama s

Sebuah Pengantar

Sebagai seorang anak muda, idelaisme akan selalu menjadi landasan utama untuk bergerak. Memang yang dikatakan Tan Malaka bahwa harta yang paling berharga dari seorang pemuda adalah idealisme itu sebuah kalimat yang menurutku pas. Dalam balutan idealisme yang membara itu, sekarang otak dan hatiku seperti sedang berkelahi habis habisan. Banyak sekali hal yang bertentangan dalam diriku. Keinginan untuk membangun tanah kelahiran, keinginan untuk mengabdi pada bangsa, keinginan untuk mencoba masuk dan memperbaiki sistem birokrasi selalu membuncah. Akan tetapi keinginan untuk bisa membahagiakan orang-orang disekitarnya, hidup berkecukupan dan mengurus kesenangan diri sendiri tak kalah jago dalam membuat hingar bingar didalam kepala. Pernah sesekali untuk mendamaikan keduanya. membuat mencari kebutuhan dan kecukupan hidup dengan idealisme. tapi variabel kendala yang dihadapi sangat banyak. entah birokrasi yang sudah terkenal kolotnya, entah kondisi lingkungan yang tidak mendukung, sampai ke

Rindu dan Waktu (Part #3 : Bara)

Pada Rindu pernah ku tanyakan sebesar apa ia merasakan Bara, Rindu hanya bertanya balik, "kenapa harus Bara? rasakan tentang apa?" aku bingung,  cepat sekali dia membalikkan logikaku Alam semesta memang tak pernah punya logika yang pasti, kehadirannya pun masih menjadi misteri, pernah ingat teori big bang? atau teori yang lain, alam semesta juga pernah membuat galileo ditahan, pernah juga membuat newton dikenang sepanjang masa, tapi apakah itu menunukkan logika alam semsta pasti? aku rasa tidak. ah, memang untuk memberikan alasan yang diterima oleh nalar siapapun oleh logika siapapun memang tak mungkin. pantas jika Rindu menolak pertanyaanku tentang Bara. Bara, anak yang lahir dari gelora bangsa amarah dan nafsiah selalu menari saat senar gitar dipetik, selalu berteriak saat ada yang tak sejalan dengannya, selalu bergairah saat melihat apa yang disukainya. Bara, dia yang pernah mengajak Rindu berpetualang, dia yang datang u

Rindu dan Waktu ( Part #2 : kalimat rindu)

Ada hari dimana rindu mengulangi kata katanya pada waktu Ia mengulang-ulang kalimat tersebut berkali kali Sambil berteriak Menangis Sampai suaranya serak. Tak pernah rindu se emosional itu Biasanya dia hanya diam dan berkata sedikit sedikit Tapi entah mengapa kali ini, Dia seperti ini pada waktu Apa dia begitu marah? Atau sebenernya dia begitu sayang? Sepertinya kota hati mulai mendung Kilat kilat terselip diantara tumpukan awan yang hitam Angin juga tak kalah sibuk Mengibaskan gaun yang digunakan rindu dan waktu. Apa yang dikatakan rindu semakin lama semakin pelan Ditambah desiran angin yang suaranya mulai mengganggu telinga, Kota hati sepertinya menyimpan kalimat-kalimat rindu itu sendiri Dan waktu Tetap tak bergeming dari peraduannya.

Rindu dan Waktu ( Part #1 : Epilog yang tak terduga)

"Ada hati yang terlalu dalam untuk pernah dilukai, hingga kedip bintang dan siluet awan malam hanya menemani termenung. Ada ragu untuk memulai kembali, Hingga simpai keramat yang tertinggal hampir layu dipermainkan angin. Ada rasa yang tak terhapus pada memori, Hingga bujuk rayu tak membuatnya melangkah barang sejengkal. Manusia tak pernah tahu bagaimana hati diajari merasa untuk memulai menanan bibit bunga. Aku yang sedang berdamai dengan malam, Dititipi salam oleh gemerlap bintang." Tetiba, setiap kata meluncur begitu saja ketika aku memandang langit yang malam ini cerah dengan cahaya bulan menerangi biru kehitaman dibantu oleh cahaya gemerintik bintang. aku memandang pada setiap iringan awan yang berjalan pelan. Akhir-akhir ini Rindu yang tak pernah bisa berdamai dengan Waktu kembali menantang perang, banyak sekali amunisi yang telah ia siapkan untuk melawan waktu dan masa depan. Aku hanya menunggu kapan perang itu meletus, yang aku rasa sekarang, dibawah perang

Bicara saja

berbicara, pada belukar, lalu rasakan bahwa mereka akan tertawa, saat angin datang lalu diam untuk menunggu lagi saat angin datang bercengkrama, pada air, lalu rasakan, bahwa mereka akan tertawa saat tanah tiba-tiba curam lalu? ah, kau pasti tahu kelanjutannya. Depok, 23 Februari 2015

Bulan

Hei, Dengan sedikit cemas aku menyapamu, malam ini aku sendirian lagi, bagaimana kabarmu? apa kau masih mengeluh tentang cahaya yang kau pinjam? Bulan, Tahukah kau, bahwa cahayamu itu seperti kain sutera sang raja tak peduli itu pinjam, tak peduli orang menyebutnya cahaya palsu atau apalah itu bagiku, balutan cahayamu menampakkan betapa anggunnya dirimu. Bulan, jangan lelah menemaniku ya saat aku sendiri lagi, aku tak akan bosan mendengar keluh kesahmu tentang cahayamu itu seperti kau tak bosan memandangiku tanpa berkedip Bulan, jangan pergi dulu, aku masih ingin memandang kemegahanmu, Bulan, Bulan, Oh, ternyata aku terlelap tadi. Depok, 4 Februari 2015

Bijaksana

Saat hujan mulai turun, apakah kau menginginkan senja yang jingga seperti yang kita nikmati bersama pada hari yang selalu bingung aku mendefinisikannya. aku ingin bertanya, apakah kau masih suka pada jingga? jika langit terus menerus tertutup awan hitam apakah kau masih bijaksana?

Masih Ada

Masih ada rindu, saat aku menemuimu, di altar ilmu yang agung, masih ada rindu, saat aku tertawa denganmu, di dekat danu yang hijau masih ada rindu, saat aku membencimu, di perasaan yang kalut masih ada rindu, saat aku membiarkanmu pergi di penghujung hari. masih ada.. Depok, 13 Januari 2015

Kebun Rasa

Langit masih belum bosan menurunkan rintik-rintik hujan yang kadang begitu cepat. Aku termenung memandang bagaimana kehidupan begitu cepat berubah. walau ada hal yang tak pernah bisa berubah dalam hidupku, aku mengerti, suatu saat aku harus berdamai dengannya dan memberikan senyuman terbaikku untuk hal yang tak aku inginkan. Rasa yang tak pernah sampai seperti yang diunkapkan air kepada api ini terus bergelayut menunggu kapan tersampaikan. Ia tak bosan walau aku selalu memperingatkannya. saat ia datang, maka yang dituju akan tiada. Rasa memang selalu begitu, tetap saja egois, tak mengerti betapa lemahnya raga menopangnya. Rintik demi rintik turun mencoba menghapusnya, tapi bukan rasa namanya kalau menyerah begitu saja. Saat ini mungkin aku sependapat dengan hujan, tapi entah esok, bagaimana aku berdamai dengan rasa yang tak pernah mau kompromi ini. Membunuhnya bukan suatu solusi, meninggalkannya apalagi. Rasa tetap menjadi barang yang melekat rapi pada sanubari. Aku menunggu saat ak