Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2013

Umpatan

semua tersumpal keluh yang kau hentakkan, dasar lemah! bilang saja kau tak tahan, tak usah kau bawa-bawa murka alam, karena sebenarnya hatimu sendiri yang murka. alam hanya mengikuti reaksi hati, karena ia murni, suci, dalam setiap raga ataupun kedigdayaan, sudah, jangan ribut para kelelawar kembali kesarangnya untuk tidur, sebaiknya kau ambil pakaianmu, lalu pergi mengejek kelelawar. Depok, 29 Juni 2013

Iya, Kamu..

aku tak pernah tahu bagaimana ini bermula, bahkan sang angin pun lupa bahwa mereka pernah diantara kita, sang mentari hanya tersenyum ramah penuh misteri saat ku tanya, dan, semua terlihat tak perlu di tanya, saat kau datang dalam lamunku, dengan senyummu yang mungil, dan derai tawa yang lebih ramah dari sapa daun pagi ini, telah membuatku tersenyum simpul, dan menatap ada cahaya didepan. kau mengawali cerita pada sebuah lembar kehidupan dengan manis, dengan anggunmu, dengan tingkah bocahmu, dan semua lenggok kesopanan sang jawa. sepertinya aku belum pernah berdoa pada Tuhan  meminta bidadari dalam duniaku, tapi kau terkirim untukku seperti kabulan doa sang perindu, apa mungkin kakek buyutku yang telah berdoa untuukku? ah, itu urusan Tuhan, kau begitu anggun dalam setiap lekuk senyum yang selalu ku rindu. bak candu, kau ingatkan aku pada betapa pemurahnya Tuhan, dan dalam batasmu, kau membuatku seperti sadar ini adalah dunia. ini kesadaran yang membayang,

Lupa

suara halus mengalun lirih, tak menjemput siulan yang menderu pada gelombang di udara, mereka saling bertemu, tapi tak bertegur sapa, hanya karena sebuah alasan, lupa. lambaian para dedaun yang masih kuat terikat tangkai merapal, tak sekedar mantra supaya mereka tetap mendapat asupan, mereka merapal segala mantra, yang tiba-tiba hilang, karena lupa, sekali lagi, hanya sekedar alasan itu, yang membuat langit tak lagi marah menjadi petir, bumi tak lagi menghamburkan gempa, dan angin diam, bergerak dengan tenang memberi kehidupan. ya, lupa.. sampai sajak inipun dilupakan oleh lupa dunia.

Awan

bagai sedikit awan yang cerah, tak datang membawa hujan ataupun kilat, kau datang membawa warna putih, sebagai penghias hamparan langit biru, lalu, saat malam datang, kuceritakan awan itu pada bulan, ia hanya mengangguk setuju akan ceritaku, karena ia pernah merasakan hiasan keindahan yang kau buat, cerita yang bukan lagi fiksi, sebenarnya adalah lukisan indah dari Tuhan untukku, untuk alam semesta yang menerimanya, kau begitu mempesona, dalam tingkah yang tak semua orang menyadarinya. kadang kau menuntunku untuk tersenyum dalam rindu, dalam dekap malam yang mengharu, lalu kau tampilkan lagi singkatnya waktu yang menjadi saksi, pada setiap detik yang kita habiskan bersama. aku memang perindu, pada sifatmu yang lebih hangat dari mentari pagi, pada senyummu yang lebih segar dari embun dini hari, pada sikapmu yang lebih anggun dari merak dan merpati. Langit, sampaikan salamku untuknya, padanya yang telah mengajariku menikmati keindahan kepak burung yang terban

tanda tanya

aku seperti mengerti rangkaian bacaan yang kau tuliaskan, tak ubah dari sedikit cerita, penuh denga duka, lalu suka, apakah kau sadar burung itu berterbangan diatas kepalamu? melambai-lambaa mengajak kita bersamanya, sedangkan kau hanya bisa terbang dalam penamu, lalu dalam lamunanmu, apa pantas aku kirimkan sajak indah ini pada angin, supaya ia berlari membawanya pada sahabat lamamu, sahabat lamamu yang mana? sang pengagum awan? ia hanya mengagumi awan, tidak dirimu lagi. apa? kamu tak perlu dikagumi? ah tak mungkin, riuh rendah gerimis juga tahu, siapa yang gila kagum disini. sudahlah, biarkan sajak indahmu itu dinikmati mereka, yang tahu siapa dirimu sebenarnya.

Mimpi

Ombak berdesir di pelataran pasir putih yang berkilau disapa oleh mentari senja yang mulai menguning, ia beriringan menghempas bulir pasir-pasir yang tak berdaya. semilir angin berhembus menemani derai tawa para pengunjung pantai yang sedang menikmati senja. Termasuk empat keturunan adam yang masih asyik dalam renungannya masing-masing melepas lelah setelah bersatu dengan pantai menghempaskan segala kesahnya beberapa waktu terakhir ini. "Hei, apakah kalian pernah punya mimpi?" tiba-tiba saja Adul melempar sebuah pertanyaan yang mengusik lamunan sahabat-sahabat karibnya. "Pernah, sering malah, setiap tidur aku pasti bermimpi, hahaha " Jawab Age sekenanya, disambut derai tawa yang lain. "Mimpi enak yo Ge?" timpal Amar yang kembali disambut derai tawa yang lebih keras. "dasar madzhab selangkangan!" sambut Arah yang dari tadi hanya ketawa.. "Asem yo, ya nggak terus-terusan kalau yang itu, bisa mati lemes aku." Jawab Age masih dengan

Sejenak

angin mengalir membawaku pada bayang yang telah lama lalu, saat dedaunan yang kini menguning itu masih kuncup, saat ranting pohon yang mengering itu masih tumbuh, saat bangku taman terisi oleh semua canda tawa kita. lalu angin berhenti, dan meninggalkanku pada suatu ruang hampa tanpa udara, pengap, hanya gelap yang bisa aku lihat. aku tertinggal denga beribu kenangan didalamnya, lalu aku pejamkan mata, dan membiarkan masa lalu itu terputar kembali, seperti rol film yang siap tayang di bioskop ah, betapa indah ruang gelap ini, saat terisi semua kenangan lalu itu. tapi tiba-tiba angin datang lagi, menjemputku, menerbangkan semua kenangan itu lalu mengembalikanku pada dunia nyata..

Berbicara dengan Tuhan #28

cukuplah mulut ini terbungkam,  dan hati ini yang berdendang.. kuharap malaikat menari dengan dendang itu  serta syaitan semakin dekat menggoda.. lalu Tuhan?  ah,  biarlah Dia dengan sifat Jaiz-Nya,  aku tak mau ikut campur urusanNya.. cukuplah mata ini berbinar, dan hati ini menderas sendu, kuharap malaikat juga, serta syaitan bingung mau apa, lalu Tuhan?  ah,  biarlah Dia dengan sifat Jaiz-Nya,  aku tak mau ikut campur urusanNya.. Innalllaha a'lamu ma laa ta'lamuun, dan aku siapa? hanya manusia yang berharap, berdoa, dan berusaha.. Tuhan, Kaulah penolongku, Kaulah penopangku Kaulah rinduku, dalam kesucian yang kuharapkan, Hingga dalam kemunafikan yang aku tampakkan. Tuhan, semoga kau mengampuni hamba-Mu yang sok tahu ini.

Berbicara dengan Tuhan #27

debu-debu itu mulai basah dan berat ia untuk terbang, mereka basah oleh mata air penyesalan yang tak kunjung kering, penyesalan para pelaknat dan pendosa yang tau siapa yang mereka laknat dan siapa yang mereka ikuti juga, coba saja kau pergi ke alam renung, lalu tanya pada hatimu, siapa yang kau laknat, dan siapa yang kau ikuti? bukankah ia makhluk yang sama? ya, begitulah hebatnya syaitan, disatu sisi, kau melaknatnya seperti kau lebih suci dan lebih benar dihadapan Tuhan daripadanya, tapi disisi lain yang entah kau sadari atau tidak, kau menjadi pengikut setia semua ajakannya. seperti layaknya debu yang mengikuti arah mata angin. pantas jika pohon-pohon terpingkal melihat polahmu wahai bocah, kau lebih lucu dari semua komedian dunia, dan kau lebih munafik dari bala tentara perang yang tertebas punggungnya. wahai bocah, sudahi leluconmu itu, cepatlah menghadap, bersujudlah, aku yakin Tuhan masih menunggu tobat sujudmu. bukan aku sok menjadi nabi, aku hanya

mata bayi

terbitlah matahri, lalu surup lah ia dengan tanda bahwa rembulan akan berkuasa, menimang malam, dan meninabobo kan manusia, cerita masa lalu, seperti benang kusut yang merengek minta dibenarkan, aku hanya tersenyum saja, karena aku paham, ia kan minta dijahit jika sudah tak kusut lagi, aku tak mau tertipu lagi dengan mata bayi itu walau ketika melihatnya aku masih takluk, dan hati ini luluh. ah tak apa, sesekali menarik akal menjdi pedoman.. tak usahlah aku banyak cakap lagi, aku sudah hafal sorot mata bayi itu..

Candu

Sekali lagi, aku menikmatinya,, sekarang terbakar dalam debu, lho, didebu kok bisa terbakar? ya ini candu.. lalu, apakah yang bisa diprotes dari sebuah candu? kau tak usah mencoba protes, karena kau hanya akan dapat pantat dari semua ocehanmu. butuh sebuah kekacuan menghilangkan candu, kau perlu membuat sebuah keributan untuk melepaskannya, tak usah takut terluka, karena candu hanya bisa lepas dengan luka. kau tak usah bertanya, apakah aku sadar saat berkata semua ini? tenang saja, aku sudah mengalahkan canduku, tapi dengan candumu, hahaha.. apakah aku gila? ya aku gila candu, bukan  karena candu aku gila.. sekarang kau boleh membenciku, asal kau lepas dari candumu, negeri ini penuh candu, candu dajjal yang dramalkan, jika kau lepas dari candumu, aku yakin dajjal menangis, tapi jangan kira malaikat dengan mudah tersenyum, karena mereka khawatir, candu itu lepas karena candu yang lebih dalam, ia masuk kehati, yang kau sendiri tak mampu menjamahnya,

Omong kosong

aku tiba-tiba melayang, saat bulan menghilang karena bulan baru, ah sebenarnya bukan menghilang, hanya keterbatasanku saja tidak bisa melihatnya, aku sudah bosan berbicara soal cinta, aku ingin merasakannya saja, aku sudah bosan berbicara tentang masalah aku ingin menyelesaikannya saja, aku sudah bosan merasakan rindu, aku ingin mengobatinya saja. tapi aku tak tahu bagaimana caranya, apakah aku harus merasakan cinta melalui sajak? apakah aku harus menyelesaikan masalah dengan deklamasi syair? apakah aku harus mengobati rindu dengan menulis puisi? ah, sebenarnya aku ini hanya omong kosong, tak lebih bagus dari bualan beo yang seenaknya berkicau..

Kau Radio

aih, lagu kesayanganku baru saja selesai, selesai juga gendang telinga ini ditabuh oleh suara musik yang lama ku rindukan, lau aku menunggu lagi lagu kesayanganku diputar lagi, walau tak tahu kapan diputar, memang, playlist yang dimiliki tak dapat ditebak, kadang membosankan, tapi tak jarang memberi kejutan, begitu juga kau, tanpa tendensi, kadang membosankan, tapi tak jarang memberi kejutan yang indah dalam hatiku, lalu, setelah lagu, terputar iklan-iklan yang kadang bikin sebal kadang juga bikin ngakak, setelah itu banyolan dari penyiar yang sering membuat telinga ini menyuruh mulut terbahak, begitu juga kau, tindakanmu kadang bikin sebal, kadang juga bikin terpingkal pingkal, aku tahu kau tanpa tendensi, dan aku tahu kau hanya ingin didengarkan, tapi aku akan memberikan lebih dari kasih sayang, terimakasih telah menemaniku, kau adalah radio yang nyata dalam hidupku, dengan frekuensi kasih, dan acara-acara kehidupan.. mari kita lanjutkan sandiwara radio

Berbicara dengan Tuhan #26

ku saksikan semilir angin, ku nikmati rintik hujan, ku berikan sedikit kebaikan yang mungkin aku punya, ku pasrahkan segala dosa untuk disiksa, Tuhan, mungkin saja diantara semua hamba-Mu akulah yang paling hina, akulah kemunafikan yang Kau ceritakan, Tuhan, bimbinglah aku, agar lebih baik dari hewan, agar lebih bermanfaat dari tumbuhan, agar lebih mulia dari malaikat, agar lebih dekat dengan-Mu Tuhan, saat aku berkaca, hanya tumpukan dosa yang aku lihat, mereka tertawa terbahak-bahak seperti siap mengirimkan aku ke neraka, Tuhan, aku tak takut pada neraka, aku takut pada marah-Mu. Ampuni aku Tuhan, Kasihanilah aku Ya Arrahman, karena aku tak punya apa-apa, semua ini milik-Mu, Tuhan, tetapkanlah imanku pada-Mu, amin,,

Biarkan Alam Berkehendak

lalu harapan apa yang menaui kebohongan ini? masihkah alam mau memakluminya? atau mereka hanya sekedar mencari nafas dan tersenyum melihatku berbohong pada semua riuh rendah kehidupan, pelak sudah aku lelah dengan kerinduan yang membabi buta ini, aku menjadikan manusia kuat, dan aku melemahkan yang sebagian, sedangkan hati ini terus terbengkalai dalam lubang-lubang sunyi terpenjara tanpa jeruji, api, jadikanlah aku sebongkah api yang akan habis terbakar, sebelum aku terbakar api yang abadi, air, alirkanlah segala darah dalam nadiku, sebelum aku dialirkan darah kepada tumpukan nanah, angin, terbangkanlah aku ketempat lapang, sebelum aku terjepit dan tak bisa kau bawa terbang. tanah, ingatkanlah aku pada muasalku, sebelum aku bersatu denganmu lagi, Tuhan, ampunilah segala kemunafikanku..

Penyesalan

aku seperti kembali pada lorong yang sangat dalam, gelap, tak ada sedikit pelita pun yang tersisa, lalu aku tertunduk, walaupun sama saja, saat aku tertunduk, atau saat aku tengadah sama saja aku tak melihat apa-apa. daya yang ku punya terserap gelap begitu saja tinggal hati yang tersisa, semua alam fikir telah terhisap oleh dahsyatnya masa lalu yang kelam. oh, apakah ini yang dinamakan menyesal? tapi bagaimana jika itu terulang lagi? sungguh beribu daya yang sudah terkumpul hilang aku tak bisa mengambil keputusan.. oh kasihku, maukah kau mengajariku menghadapi gelap? atau menuntunku keluar dari lorong ini.

Rumput yang Malang

seperti aku tak mengerti silih bergantinya hari, aku benar-benar tak menyadari apa yng telah membuat rumput itu mati, aku sudah berusaha tak menginjaknya, aku juga tak lupa memohon hujan untuk menyiraminya. namun seperti yang terlihat, batangnya patah, dan mengering, aku tak tahu sibuk manusia mungkin telah menginjaknya membunuhnya tanpa sengaja. lalu? apa guna aku merawatnya? kalau sekarang untuk melihat senyumnya saja aku harus memutar otak berisi semua kenangan yanga ada senyumnya. aku ingin sekali meratapi matinya, tapi aku tidak mau dibilang mengada-ada, atau berlebihan, padahal aku sangat kehilangan, tapi karena cuma aku yang memperhatikannya, wajar jika aku menangis aku dikatakan gila, ah dunia, kau sangat hebat memanipulasi manusia, menjadi seperti kuda yang ikut-ikutan rombongan ke pasar, tanpa tahu mau apa dia kepasar..

Sesekali

Sesekali Aku ingin Seperti Gus Dur melihat manusia seutuhnya, dan membimbing bangsa bedemokrasi dengan cerdasnya. sesekali aku ingin seperti Jalaluddin Rumi, mengarungi telaga hikmah, tanpa peduli gemerlap dunia sesekali aku ingin seperti Bung Karno, yang meraja di Podium, dan mengolah kata menjadi Negara, Sesekali aku ingin seperti Tan Malaka, Negarawan yang selalu merdeka, lalu menjadi apcar merah Negaranya, sesekali aku ingin seperti khalil gibran, mencintai yang sejati dengan sejati, tanpa ragu hatinya akan mati, lalu mengalirkannya dalam sajak cinta yang abadi. sesekali aku ingin seperti Rendra, menyair panggung, dan setia berjuang dengan sajak-sajaknya sesekali aku ingin seperti Gus Mus mengajari tanpa menggurui, berdakwah dengan kerendahan hati, selalu tawadlu' pada ilmu Ilahi sesekali, aku ingin seperti ayahku, mendidik dengan hati, sabar serta selalu menghargai, ya, hanya sesekali, aku ingin menjadi orang hebat seperti mereka, k

saat

kadang aku ingin sekali bertanya pada bapakku atau emakku, " nopo pake kalih make niku mboten getun nguliahke kulo?" hm, tapi tak pernah kesampaian, dan mungkin sampai kapanpun tidak akan pernah kesampaian. pertanyaan simple ini adalah bentuk dari semua teriakan yang selama ini angin aku ungkapkan, bagaimana tidak, 3 tahun kuliah dan rasanya aku tidak mendapatkan apa-apa yang benar-benar spesifik dan tahu untuk apa sebenearnya aku belajar ini semua, mungkin untuk mata kuliah standar aku bisa lolos, ya hanya sekedar lolos, dan mata kuliah yang "bener-bener" matematika udah kaya kebo aja, cuma bisa melongo. tak hanya mata kulaih dan seputaran pelajaran, tapi pergaulan, lingkungan, semuanya aku tak mendapatkan hal positif yang aku inginkan, karakterku menjadi benar-benar karakter yang aku benci, disini akhirnya aku menjadi sesuatu yang aku bayangkan bakal menjadi musuhku kelak dikehidupan dewasa. tapi, aku sudah memulai, aku sudah membuat ini sebagai tatanan hidup, a

Mata Perindu

pendar memulai semua rasuk cahaya dalam mata, kadang terawang membelah karang untuk terus berlayar, tak takut akan karam saat semua mata gentar, ia hanya menyembunyikan takutnya pada rindu, ia berjuang untuk membuktikan cinta, karena ia tahu, yang hakiki ada diantara mereka, ini bukan bahasa syekh siti jenar, atau ki ageng pengging, tidak juga ini bahasa al halaj dari jazirah arab, ini hanya bahasa mata yang tak kuat disangga nafsu. keitka ia berusaha tersenyum, rasanya alam banyak tak menerimanya, bukan karena jijik, tapi karena mereka tak tahu, ia tersenyum pada sang Maha Senyum yang tak diketahui siapapun, dan dipesisir itu, ia mencoba memecahkan sandi-sandi langit yang bak karang, ia mengeja arah matahari, ia mengeja sinar angin, lalu ia menancapkan satu pengikat pandang yang tajam, untuk dijelajahi dan menari bersama para sufi.. Depok, 2 Juni 2013

Lalu

tak kaget jika tiba-tiba aku berbicara "lalu", karena sesungguhnya ku telah memulai semua yang kau katakan itu. hanya saja mungkin aku tak mengerti kalau yang sebenarnya telah kau cita-citakan itu telah aku jadikan laku dan renungan. singkatnya ketika aku bertanya "lalu" apa? berarti aku masih respek untuk mendengarkanmu sebagai pengingatku. Mungkin ini adalah sebuah kesombongan yang terasa dibuat-buat, tapi ini semua kulakukan untuk menutupi semua nostalgia indah yang pernah kita lalui pada derit pintu, bersama hembus angin dan rindang seluruh pephonan yang mau menemani dan menjadi saksi, belum lagi jika kita ingat malam-malam yang telah memberikan waktu pada rindu ini untuk terus membara, malam yang dingin, serasa ingin dihangatkan oleh kobaran rindu yang kita ciptakan. Ini tidak sekedar tentang kata "lalu" yang mudah diartikan tentang masa yang sudah kita lewati, ini adalah tamparan untuk masa depan, "lalu" yang bertanya apa selanjutnya. kau

Bahasa Cinta

Tadi, sempat aku pinjam bahasa cinta senja yang jingga dan menawan, tetapi sepertinya temaram malam terlalu pekat untuk tahu bahasa cinta sang senja. aku sempat tak mengerti apa yang harus aku lakukan bila bertemu malam, aku tak punya bahasa cinta universal, aku juga tak tahu bahasa cinta malam yang dingin itu. yang aku bisa, hanya meminjam bahasa cinta sang mentari saat indahnya berada di ufuk timur atau ufuk barat. Oh iya, sampai lupa bahwa aku belum meminjam bahasa cinta sang rembulan, mungkin ia tahu bahasa cinta sang malam. Namun, apakah itu mungkin? cahaya cinta sang bulan saja hanya pinjaman dari mentari. bagaimana ia punya bahasa cinta sendiri? haruskah aku bertanya pada gemerlap bintang yang saling senyum dan bertegur sapa itu? Ah, sepertinya aku terlalu pesimis. Memang, seperti yang sudah ku bilang, aku tak mempunyai bahasa cinta yang diminta malam. padahal aku sangat mencintainya, aku mencintai kepekatannya, kehitamannya, kedalamannya, ketenangannya, kejujurannya, dan aku