Langit masih belum bosan menurunkan rintik-rintik hujan yang kadang begitu cepat. Aku termenung memandang bagaimana kehidupan begitu cepat berubah. walau ada hal yang tak pernah bisa berubah dalam hidupku, aku mengerti, suatu saat aku harus berdamai dengannya dan memberikan senyuman terbaikku untuk hal yang tak aku inginkan.
Rasa yang tak pernah sampai seperti yang diunkapkan air kepada api ini terus bergelayut menunggu kapan tersampaikan. Ia tak bosan walau aku selalu memperingatkannya. saat ia datang, maka yang dituju akan tiada. Rasa memang selalu begitu, tetap saja egois, tak mengerti betapa lemahnya raga menopangnya.
Rintik demi rintik turun mencoba menghapusnya, tapi bukan rasa namanya kalau menyerah begitu saja. Saat ini mungkin aku sependapat dengan hujan, tapi entah esok, bagaimana aku berdamai dengan rasa yang tak pernah mau kompromi ini.
Membunuhnya bukan suatu solusi, meninggalkannya apalagi. Rasa tetap menjadi barang yang melekat rapi pada sanubari. Aku menunggu saat aku bisa menurunkan egoku dan berdamai dengannya. Melati tak akan pernah ada lagi yang mekar. Kebun ini sudah terlalu banyak tercemar tanahnya, hingga ia tak sudi tumbuh dan mekar disini. Lalu, saat ia memilih tumbuh pada kebun yang lain, tak berguna juga untuk menyalahkan apalagi mencemari tananhnya. Tinggal menunggu saja saat ia kembali mekar dan menikmainya, walau dari tempat yang berbeda dan posisi yang berbeda. Aku berharap tetap masih bisa menikmatinya.
Kini, begitu banyak bunga mekar dikebun yang sudah mulai usang tak terurus, apakah aku juga akan membiarkan bunga terompet itu juga mati dan tak mau tumbuh lagi. Bunga yang menawan tapi tak pernah bisa menimbulkan rasa yang ku inginkan. aku tak ingin ia tumbuh dikebun lain, tapi aku juga tak punya daya untuk terus merawatnya saat aku benar-benar tak punya rasa.
Lalu, biji bunga yang ku genggam, akankah aku tanam?
Depok, 13 Januari 2015
Rasa yang tak pernah sampai seperti yang diunkapkan air kepada api ini terus bergelayut menunggu kapan tersampaikan. Ia tak bosan walau aku selalu memperingatkannya. saat ia datang, maka yang dituju akan tiada. Rasa memang selalu begitu, tetap saja egois, tak mengerti betapa lemahnya raga menopangnya.
Rintik demi rintik turun mencoba menghapusnya, tapi bukan rasa namanya kalau menyerah begitu saja. Saat ini mungkin aku sependapat dengan hujan, tapi entah esok, bagaimana aku berdamai dengan rasa yang tak pernah mau kompromi ini.
Membunuhnya bukan suatu solusi, meninggalkannya apalagi. Rasa tetap menjadi barang yang melekat rapi pada sanubari. Aku menunggu saat aku bisa menurunkan egoku dan berdamai dengannya. Melati tak akan pernah ada lagi yang mekar. Kebun ini sudah terlalu banyak tercemar tanahnya, hingga ia tak sudi tumbuh dan mekar disini. Lalu, saat ia memilih tumbuh pada kebun yang lain, tak berguna juga untuk menyalahkan apalagi mencemari tananhnya. Tinggal menunggu saja saat ia kembali mekar dan menikmainya, walau dari tempat yang berbeda dan posisi yang berbeda. Aku berharap tetap masih bisa menikmatinya.
Kini, begitu banyak bunga mekar dikebun yang sudah mulai usang tak terurus, apakah aku juga akan membiarkan bunga terompet itu juga mati dan tak mau tumbuh lagi. Bunga yang menawan tapi tak pernah bisa menimbulkan rasa yang ku inginkan. aku tak ingin ia tumbuh dikebun lain, tapi aku juga tak punya daya untuk terus merawatnya saat aku benar-benar tak punya rasa.
Lalu, biji bunga yang ku genggam, akankah aku tanam?
Depok, 13 Januari 2015
Comments
Post a Comment