Ibu,
Dalam bodohku, aku ingin
bertanya
Menimang kata demi kata,
Merangkainya menggambarkan
gamang dalam duka
Apakah kita boleh
bertengakar,
Bercakar tangan berebut
benar
Membabi buta dengan mata
nanar
Walau orang lain bertukar
kelakar
?
Apakah kita boleh
bertengkar,
Mencari muka dan menang
Hasrat terpuaskan,
Tanpa sadar mulut para
fakir menganga lebar
?
Ibu,
Dalam kekanak-kanakanku,
sekali lagi mulut mungil ini bertanya,
Mengapa mereka bertengkar
atas nama demokrasi,
Merusak sana sini
berpedang agama,
Hingga menebas leher hanya
untuk derajat dan harga diri
?
Semua terlihat begitu
menakutkan,
Air mata mengalir
perlahan,
Membasahi abu-abunya hak
dan kewajiban,
Mengunci mulut dari
kebenaran.
Aku tak lagi berani
bertanya padamu, Ibu.
Takut kalau-kalau pedang
itu menebas leher kita,
Api membakar rumah kita,
Atau fitnah mengucilkan
kita seperti penyakit menular.
Biarlah ku simpan
pertanyaan-pertanyaan ini dihatiku,
Karena disanalah tempat
paling lapang untuk bertanya :
Apa makna demokrasi?
Apa makna harga diri?
Apa makna agama dalam
hidup ini?
Mungkin memang hanya kepada hati nurani kita bisa berdialog... Jadi ingat kata-kata dari Soe Hok Gie, "Kebenaran yang sejati itu cuma ada di langit dan di dunia ini hanyalah palsu, palsu."
ReplyDeleteAsh-shobaruu khoirun min anarkis :)
dan apakah kebeneran juga hanya bisa dilihat seperti kita hanya bisa melihat langit??
ReplyDeletekembali bertanya pada sang nuruani :)