Skip to main content

Dandelion

Angin mengalir begitu damai disebuah padang rumput yang hijau itu, saat matahari sepertinya mulai tergelincir ke barat dan menemani dua insan yang sedang berlarian dan berkerjaran sambil tertawa lepas. Seakan-akan tidak akan pernah ada masalah yang akan mereka hadapi. Dua bocah yang berambut ikal itu sepertinya menikmati pertemuan pertama mereka. Dua pasang mata yang sorotnya tak pernah padam dari kebahagiaan itu menari-nari mengikuti tubuh yang membawanya. Akhirnya, dehidrasi membuat mereka lelah dan terlentang memandang kelangit biru yang berteman awan putih jernih. Mungkin untuk anak seumuran mereka yang masih belasan tahun tak akan tahu filosofi awan yang sangat bagus, bagi mereka awan ketika putih adalah hiasan indah yang menghiasi langit dengan bentuk yang bisa mereka sesuaikan dengan keinginan hati mereka, dan ketika awan hitam adalah awan yang menjadi penghalangnya untuk bermain diluar.
“Dek, lihat awan yang disana, bentuknya kayak ayam ya..” kata Kufa Masih dengan senyum diwajah sambil menunjukkan tangannya pada awan yang bulat dan memang mirip ayam petelur itu,
“Yang mana mas?” tanya Raya mengarahkan pandangan pada awan yang ditunjuk oleh Kufa.
“Yang itu, yang sebelah sana itu..”
“Bukannya kayak bebek mas?” tanya Raya masih tetap mengarahkan matanya pada awan itu,
“Bukan, lihat tuh, dia punya Jengger dikepalanya, nggak mungkin bebek punya jengger,” Kufa berkeras.
“Tapi kakinya terlihat ada selaputnya, kan nggak ada ayam berselaput.”
Memang, imajinasi anak seusia mereka akan sangat detail, walaupun sebenarnya apa yang mereka lihat dan imajinasikan tidak sedetail itu. Karena mereka tak pernah butuh alasana untuk tidak percaya pada imajinasi mereka, bagi mereka imajinasi adalah bintang petunjuk arah dalam mereka menjalani hidup.
“Bener kan mas?” kata Raya memecah kebisuan, tapi Kufa sudah mengalihkan pandangannya ke awan yang lain.
“Eh lihat deh awan yang itu, kamu tahu nggak mirip apa dek?” kata Kufa menunjuk awan yang gempal dan hanya berbentuk bulat.
“Bola bekel ya mas?” tebak Raya sambil menolehkan mukanya ke Kufa,
“Bukan, bukan itu masudku.” Kata kufa sambil bangun dan duduk.
“Trus apa dong mas?” tanya Raya sambil ikut bangun dari terlentangnya..
“Mirip pipimu, hahaha.. “ Jawab Kufa sambil mecubit pipi raya yang tembem dan berlari lagi.
‘iih jahat, awas ya..” dengan sedikit kesal pipinya dicubit, Raya mengejar Kufa.
Mereka kembali dalam derai tawa dan elawan laju angin, berlari dan terus berlari tanpa peduli matahari telah iri dengan kebahagiaan mereka. Memang masa kecil memnjadi masa yang sangat suci bagi sebagian manusia, masa dimana tak pernah ada dosa, masa dimana semua bisa diimajinasikan, masa dimana sedih bisa dibayar dengan tangis dam masa dimana senang bisa berlaku sepanjang hari. Tiba-tiba Kufa berhenti, dan ditubruk oleh Raya, “kena kau!”
“Bentar Dek,lihat itu..” kata kufa, tangannya menunjuk pada iring-iringan seperti kapas yang putih dan tipis itu mengikuti arah mata angin.
“apa itu mas? Wah indahnya..” Raya mengendurkan tangkapannya, lalu menikmati pemandangan yang indah didepannya.
“ayo, kita cari tahu dari mana itu berasal!” ajak Kufa sambil menolehkan mukanya penuh arti pada Raya yang hanya dijawab dengan senym simpul dan anggukan kecil. Kufa menggenggam tangan Raya, lalu mereka berlari kecil menerobos iring-iringan benda putih yang sangat indah itu dan akhirnya mereka sampai pada sebuah daratan yang lapang, disana tumbuh pohon-pohon kecil yang menghasilkan keindahan itu.
“kau tahu ini pohon apa?” tanya Kufa sambil memetik satu tangkai dan meniupnya.
“Dandelion mas, kemarin aku lihat ini di buku kumpulan flora dan fauna.” Jawab Raya yang memang gemar terhadap tumbuhan itu.
“apa namanya tadi?” tanya Kufa lagi yang merasa mendengar nama yang aneh.
“Dandelion mamas.”
“Dandelion! Hm,  nama yang bagus.” Kata Kufa sambil tersenyum dan meniup lagi satu batang dandelin dan menikmati anak-anak dandelion yang terbang dibawa angin. Lalu mereka berdua memetik beberapa tangkai dandelion untuk ditiupkan kemuka yang lain dan bisa ditebak, derai tawa kembali menghiasi padang rumput yang luas itu. Setelah lama mereka bermain, akhirnya mereka menyerah pada matahari yang daritadi cemburu kepada mereka, mereka lelah dan duduk berdua sambil masih membawa beberapa tangkai dandelion. Mereka menikmati matahari yang sudah mulai tergelincir kebarat dan menguning.
“Mas, besok kamu pulang ya?” tiba-tiba Raya memecah kebisuan.
“Iya Dek, ayo maen ketempatku Dek.” Jawab Kufa enteng sambil masih meniup dandelion ditangannya.
“Yaah..” desah Raya sambil menundukkan kepaladan mukanya terlihat murung.
“Loh kenapa dek? Kok jadi murung gitu, tambah kayak bakpao tuh pipinya.” Ledek Kufa sambil terkekeh, padahal dia sebenarnya juga tahu apa yang dipikirkan teman barunya ini dan dia juga merasakannya.
“Mamas kapan kesini lagi?” tanya Raya penuh harap, sepertinya ada rasa yang belum pernah ia rasakan, tapi terlalu dini untuk bisa mendefinisakan perasaan itu. Yang dia tahu, dia akan merasa sendiri lagi dihari-hari berikutnya, tak seperti ini yang ramai oleh derai tawa. Dunianya akan diisi lagi dengan boneka-boneka yang ia ajak bicara sendiri lagi. Akan kembali pada kebun berbunga warna-warni yang menunggu tangannya merawat dengan penuh kasih lagi, walau bunga-bunga itu sebenarnya tahu, Tuannya itu sangat sepi dalam beku.
“Entahlah dek, aku juga tak tahu kapan aku bisa meniup dandelion ini bersamamu lagi.” Jawab Kufa sambil masih memegangi tangkai dandelion terakhirnya.
“Mas, apakah kau mau berjanji padaku untuk meniup dandelion lagi bersamaku?”tanya Raya yang sedikit membuat Kufa tidak mengerti,
“Tentu!”jawab Kufa dengan mantap. Dalam pikirannya, ya kalau ayahnya kesini lagi dia pasti akan ikut. Ah, pikiran seorang anak laki-laki yang masih polos.
“Janji?”
“Janji Dande! Mulai sekarang aku akan memanggilmu dengan dande, biar cita-citamu bisa terbang tinggi seperti dandelion-dandelion ini.” Kata kufa sambil tetap terlihat tersenyum.
“Oke Lion! Dan aku akan memanggilmu Lion, supaya kau tetap ingat pada padang dandelion ini.” Ternyata Raya juga sudah menyiapkan panggilan untuk teman barunya ini.
“Dande dan Lion, hahahaha..” gumam Kufa sambil tertawa keras
“iya, lucu kan? Hahaha” Raya juga ikut tertawa lepas. Lalu perlahan-lahan derai tawa mereka mengantarkan matahari kembali ke peraduannya.
“Dande, Coba kau tiup dandelion ini!” Kufa menjulurkan tangkai dandelion terkhir yang sedaritadi masih dipegangnya.
Merekapun meniup dandelion terakhir itu bersama dan membiarkan mereka terbang dibawa angin meninggalkan mereka. Entah kapan Dande akan memanggil nama “Lion” lagi dan entah kapan Lion dapat mencubit pipi bakpao “Dande” lagi. Tapi sore ini telah mengantarkan bukti pada alam tentang ketulusan rasa yang memang tak pernah bisa didefinisikan.


Wonosobo, 2013 

Comments

Popular posts from this blog

Betapa Welasnya Gusti Allah

Akhir-akhir ini saya merasa muak melihat twitter dan facebook yang kebanyakan membicarakan kasus korupsi yang disebut fitnah lah, konspirasi lah, ketahuan belangnya lah, dal lain sebagainya, banyak sekali pro kontra yang terjadi, Terlapas dari saya yang memang nggak suka sama sekali terhadap partai-partai politik yang sok suci  dan membela rakyat tapi akhir-akhirnya "ngadali" rakyat juga, yang sangat saya sayangkan adalah akhir-akhir ini semakin marak agama diperjualbelikan dan semakin marak nama Tuhan dijadikan alat jualan supaya dagangannya laku keras. Tapi dalam tulisan ini saya tidak akan membahas tentang brengseknya beberapa oknum yang jualan atas nama Agama dan Tuhan, tapi saya ingin lebih membahas betapa pemurahnya Tuhan terhadap makhluk-Nya yang paling brengsek dan paling keji sekalipun. Ide tulisan ini saya dapat ketika saya kembali membaca kitab ta'limul muta'alim yang sudah berdebu diatas lemari karena sok sibuknya saya sampai malas membacanya. setelah s

Ketua Angkatan Namanya

Jika kau pernah kuliah atau sekarang sedang kuliah, pasti kau tahu jabatan yang diberi nama “ketua angkatan” ini. memang sih jabatan ini tak setenar ketua BEM, Ketua DPM, atau Ketua lembaga lainnya. Jabatan ini hanya jabatan kultural yang tugas dan wewenangnya tidak tertulis dimanapun, tidak di AD/ART, Preambul, atau undang-undang IKM. akan tetapi jabatan ini akan sangat penting ketika sebuah angkatan mengadakan acara yang tidak punya panitia, atau ketika ada permasalahan yang terjadi. Jabatan yang tidak punya tugas dan wewenang secara tertulis ini menurut saya hanya sebatas abdi, kawulo yang bertugas melayani orang-orang diangkatannya. namanya juga jabatan kultural, ya nggak pernahlah disuruh ngasih sambutan atau tanda tangan seperti ketua lembaga. Tapi jika kita menengok tugas yang di emban oleh mereka yang tidak tertulis itu sangat berat (bagi yang mau mikir). Ya nggak berat gimana, ketua angkatan bertanggung jawab atas angkatannya, jika ada tugas angkatan dia, jika ada permasalah

Tuhan, akulah sang pendosa

Tuhan, dalam ku termenung, aku melihat cahaya tertutup mendung. Terbingkai kabut, dan terlihat tarian rintik hujan membasahi bumiMu yang kerontang.