Malam begitu pekat ketika angin dan kegelapannya membalut lelah yang menjalar keseluruh sendi, aku masih menerawang jauh pada kemungkinan-kemungkinan tanpa bisa tahu berapa probabilitas dari kemungkinan itu. sayup-sayup suara kendaraan yang jauh menjadi berdesing ditelinga karena sepinya malam. membuat bayang-bayang dalam benak menjadi sedikit kabur walaupun ekspektasi itu tetap tak tahu perhitungannya.
Sebenarnya aku sangat rindu suara sayap jangkrik yang bergesek seperti yang biasa menemaniku dimalam yang dingin di lereng sumbing itu, tapi perlu ditekankan, aku hanya rindu pada situasinya bukan pada lereng sumbing itu. Kelopak mata mulai terkatup dan terasa berat untuk ditahan dan akhirnya aku pun sudah berpindah alam. Ya, dialam mimpi inilah cerita akan dimulai.
Lorong yang sedikit sempit membawaku pada sebuah ruangan luas dan tinggi, aku tertinggal sendiri disana dengan perut yang sangat lapar. Tiba-tiba dia datang dengan senyum manis dan sepotong roti, tapi entah kenapa senyum itulah yang menghilangkan rasa laparku, bukan roti yang ia bawa. Ruang yang sangat luas itu sejenak lenggang dan hanya angin yang tiba-tiba tertawa mengejek kami yang masih berdiri mematung berhadapan. aku hanya bisa memandangnya tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun, dalam benakku semua ekspektasi, kemungkinan, masa depan semua saling berlomba berlari mencapai garis finish sehingga bisa keluar dari mulut yang masih terbungkam oleh senyum manis itu. " Ia bukan ekspektasi masa depan yang ada, tapi dia adalah kemungkinan masa depan yang juga punya probabilitas." kata-kata itu yang selalu berputar-putar dalam benakku sampai pada akhirnya ia membuka pembicaraan dan membungkam suara tawa sang angin. tak perlulah aku ceritakan apa yang kita cakapkan, tapi ini tentang kekaguman, masa depan, pilihan, masa lalu dan yang paling penting adalah KEPUTUSAN!
Semuanya masih dibalut senyumnya, senyum simpul bermakna yang memaksaku untuk mengerutkan dahi dan memeras keringat dingin yang jarang keluar. disinilah mimpi itu terlihat nyata dan seperti gambaran masa depan.
Saat terbangun, aku mulai tergagap dan akhirnya termenung. apakah aku harus melangkah? atau hanya sekedar mengikuti yang sudah tertuliskan?
Entahlah, tapi udara pagi telah menuntunku menuliskannya
Depok, 27 September 2012
Sebenarnya aku sangat rindu suara sayap jangkrik yang bergesek seperti yang biasa menemaniku dimalam yang dingin di lereng sumbing itu, tapi perlu ditekankan, aku hanya rindu pada situasinya bukan pada lereng sumbing itu. Kelopak mata mulai terkatup dan terasa berat untuk ditahan dan akhirnya aku pun sudah berpindah alam. Ya, dialam mimpi inilah cerita akan dimulai.
Lorong yang sedikit sempit membawaku pada sebuah ruangan luas dan tinggi, aku tertinggal sendiri disana dengan perut yang sangat lapar. Tiba-tiba dia datang dengan senyum manis dan sepotong roti, tapi entah kenapa senyum itulah yang menghilangkan rasa laparku, bukan roti yang ia bawa. Ruang yang sangat luas itu sejenak lenggang dan hanya angin yang tiba-tiba tertawa mengejek kami yang masih berdiri mematung berhadapan. aku hanya bisa memandangnya tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun, dalam benakku semua ekspektasi, kemungkinan, masa depan semua saling berlomba berlari mencapai garis finish sehingga bisa keluar dari mulut yang masih terbungkam oleh senyum manis itu. " Ia bukan ekspektasi masa depan yang ada, tapi dia adalah kemungkinan masa depan yang juga punya probabilitas." kata-kata itu yang selalu berputar-putar dalam benakku sampai pada akhirnya ia membuka pembicaraan dan membungkam suara tawa sang angin. tak perlulah aku ceritakan apa yang kita cakapkan, tapi ini tentang kekaguman, masa depan, pilihan, masa lalu dan yang paling penting adalah KEPUTUSAN!
Semuanya masih dibalut senyumnya, senyum simpul bermakna yang memaksaku untuk mengerutkan dahi dan memeras keringat dingin yang jarang keluar. disinilah mimpi itu terlihat nyata dan seperti gambaran masa depan.
Saat terbangun, aku mulai tergagap dan akhirnya termenung. apakah aku harus melangkah? atau hanya sekedar mengikuti yang sudah tertuliskan?
Entahlah, tapi udara pagi telah menuntunku menuliskannya
Depok, 27 September 2012
Comments
Post a Comment