Awan teriring gelap di sore
pertengahan september.
Bergelayut berat,
membimbing senyum bumi yang terpanggang tak terhitung bulan.
Senyum-senyum mahluk bumi yang terkembang,
mengintegral menjadi kegembiraan,
seperti baris eksponensial,
yang tak lagi tergambarkan ujung grafiknya.
Bergelayut berat,
membimbing senyum bumi yang terpanggang tak terhitung bulan.
Senyum-senyum mahluk bumi yang terkembang,
mengintegral menjadi kegembiraan,
seperti baris eksponensial,
yang tak lagi tergambarkan ujung grafiknya.
Walau musim tak lagi searitmatik dahulu,
tak juga bilangan fibbonachi menggambarkannya,
tapi hujan pertama ini telah mendiferensialkan semua lelah,
dengan dalil l'hopitalnya.
Aku hanya memandang aksioma alam ini.
Sembari menatap vektor-vektor hati yg msh blm tntu arahnya.
Berperasa kepada premis-premis kehidupan yang mulai tak berkesimpulan.
Hingga,
Kepergian mentari sore yang terpaksa oleh pawai sang awan,
telah membawaku kepada syair-syair jiwa yang tak berhingga,
tak peduli untuk setiap epsilon dan delta membentuk limit berhingga..
Hujan sore ini,
adalah asumsi yang tak terbantahkan alam.
Untuk garis asimtot hatinya yang kembali tak tersentuh sumbu-sumbu yang didekatinya.
Depok. 15 september 2011 16:57
Comments
Post a Comment