Secangkir kopi siang ini terlalu hambar, tak seperti biasanya kental dan menenangkan. Aku memang menyeduhnya sambil melamun, sehingga terlalu banya air yang masuk kedalam cangkir kopiku. Ah, mau ku tambahi kopi dan gula juga tak akan se-enak takaran awal yang memang sudah pas. mungkin itu juga yang sekarang sedang terjadi di Negeri gemah ripah loh jinawi ini. semuanya serba terlanjur, Pak Ahok terlanjur ngomong, MUI terlanjur memberikan Fatwa, Buni Yani terlanjur memposting potongan video, Media terlanjur memblow up bsar besaran, "umat islam" ada yang terlanjur mencak mencak, ada juga yang terlanjur membela, tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama terlanjur mengeluarkan statement. Akhirnya negeri ini terasa hambar, ditambahi apa saja dengan ramuan apa saja juga tak akan seharmonis awal dulu.
Biasanya keterlanjuran menyeduh kopi yang menjadi hambar ini memang akhirnya bisa dinikmati mantan pecinta kopi yang sekarang sudah pensiun minum kopi dengan kadar pecinta, yaitu mereka yang lambungnya sudah tak kuat menerima kopi tapi masih ingin selalu menikmati kopi. Sama, keterlanjuran di negeri ini juga akhirnya menjadi santapan enak mereka-mereka yang punya kepinginan tapi sedang/sudah "sakit lambung". Akhirnya terciptalah simbiosis mutualisme antara mereka. Ya, Mereka yang saling diuntungkan antara pembuat kopi yang terlanjur kebanyakan air dan punya sakit lambung.
Akhirnya, pada titik seperti ini. Orang-orang yang punya pemikiran ke depan dan preventif terhadap keutuhan negeri gemah ripah loh jinawi ini lah yang gusar sendiri, gelisah sendiri. Lha bagaimana tidak gusar dan gelisah, setiap mengungkapkan pemikiran preventifnya, orang akan sangat susah percaya, karena nggak ada bukti konkrit, premis premis yang disusun secara logis pun tak akan dipercaya. Entah karena itu hanya sekedar premis, atau memang orang-orang ini nggak akan percaya kalau belum merasakan sendiri.
Lalu bagaimana? ya sudah, yuk coba racik lagi kopi dan seduh dengan hati hati.
Jakarta, 8 Nvember 2016
Biasanya keterlanjuran menyeduh kopi yang menjadi hambar ini memang akhirnya bisa dinikmati mantan pecinta kopi yang sekarang sudah pensiun minum kopi dengan kadar pecinta, yaitu mereka yang lambungnya sudah tak kuat menerima kopi tapi masih ingin selalu menikmati kopi. Sama, keterlanjuran di negeri ini juga akhirnya menjadi santapan enak mereka-mereka yang punya kepinginan tapi sedang/sudah "sakit lambung". Akhirnya terciptalah simbiosis mutualisme antara mereka. Ya, Mereka yang saling diuntungkan antara pembuat kopi yang terlanjur kebanyakan air dan punya sakit lambung.
Akhirnya, pada titik seperti ini. Orang-orang yang punya pemikiran ke depan dan preventif terhadap keutuhan negeri gemah ripah loh jinawi ini lah yang gusar sendiri, gelisah sendiri. Lha bagaimana tidak gusar dan gelisah, setiap mengungkapkan pemikiran preventifnya, orang akan sangat susah percaya, karena nggak ada bukti konkrit, premis premis yang disusun secara logis pun tak akan dipercaya. Entah karena itu hanya sekedar premis, atau memang orang-orang ini nggak akan percaya kalau belum merasakan sendiri.
Lalu bagaimana? ya sudah, yuk coba racik lagi kopi dan seduh dengan hati hati.
Jakarta, 8 Nvember 2016
Racik lagi kopi dan seduh dengan hati-hati
ReplyDelete